Epidemi obesitas kini mengintai orang di banyak negara. Bahkan, menurut penelitian, orang-orang Inggris sekarang ini memiliki berat badan 24 kilogram lebih gemuk dibandingkan masa 50 tahun lalu. Siapa yang harus disalahkan?
Berbeda dengan kepercayaan banyak orang, sebenarnya tidak banyak perubahan yang terjadi dengan manusia di zaman ini. Kita tidak lebih rakus dalam makanan dan tidak juga lebih malas bergerak. Tetapi, ada satu perubahan menonjol, yakni makanan yang kita asup, dan secara spesifik jumlah gula dalam makanan.
"Secara genetik, manusia belum berubah. Tetapi lingkungan kita, akses kita terhadap makanan murah berubah," kata profesor Jimmy Bell, pakar obesitas dari Imperial College, London.
Ia menjelaskan, setiap hari kita dibombardir oleh industri makanan agar kita makan lebih banyak makanan. "Ada perang antara tubuh kita dan kebutuhan yang dibuat oleh tubuh dengan akses terhadap makanan. Sebagai ilmuwan, saya merasa kita kalah melawan obesitas," kata Bell.
Produk pemanis itu mendorong produksi makanan murah miskin gizi, mulai dari biskuit hingga sereal. Pada akhirnya, burger pun dibuat lebih besar dan kentang digoreng dengan minyak lebih banyak sehingga makin berlemak.
Menurut pakar nutrisi Marion Nestle, hal tersebut membuat orang semakin gemuk. "Jumlah kalori yang diproduksi orang di Amerika dua kali dari jumlah yang dibutuhkan tubuh. Tahun 1970-an, kalori yang dikonsumsi 3.200 dan di tahun 1980-an sudah menjadi 3.900 per orang," katanya.
Sirup jagung tinggi fruktosa (high fructose corn syrup/HFCS) adalah pemanis yang diproduksi dari limbah jagung, karena itu harganya murah. Pemanis ini banyak dipakai dalam berbagai makanan, mulai dari pizza, cakes, roti, biskuit, dan banyak lagi.
Pada pertengahan tahun 1980-an, sirup jagung menggeser penggunaan gula dalam produk minuman soda. Dari sisi finansial perusahaan, hal itu lebih menguntungkan karena harga sirup jagung tiga kali lebih murah dari gula dan lebih manis.
Akan tetapi, beberapa pakar menyebutkan, sirup jagung bisa menimbulkan adiksi. Dua dekade kemudian jumlah softdrink yang diasup orang Amerika rata-rata naik dua kali lipat dari 350 kaleng per tahun menjadi 600 kaleng.
Susan Neely dari American Beverages Association menolak anggapan bahwa tingginya konsumsi softdrink sebagai penyebab obesitas di negara Barat. "Bukti menunjukkan bahwa obesitas terjadi karena seseorang mengasup terlalu banyak kalori tanpa olahraga untuk mengimbanginya," katanya.
Sementara itu, Dr Jean-Marc Schwarz dari San Francisco General Hospital mengatakan bahwa jumlah fruktosa yang dikonsumsilah yang membuatnya berbahaya. "Fruktosa memang tidak memiliki efek toksik seperti timah. Ia juga tidak bisa dibandingkan dengan merkuri, tetapi kuantitas yang kita konsumsi yang membuatnya menjadi racun," kata Schwarz.
Di dalam tubuh, fruktosa akan dengan mudah diubah menjadi lemak. Para ilmuwan juga menemukan hal tersebut akan menekan kerja hormon vital yang disebut leptin. Hormon ini bertugas untuk memberitahu otak jika kita sudah kenyang. Jika liver sudah berlebihan gula, leptin lambat laun akan berhenti bekerja sehingga tubuh tidak akan menyadari kapan kita kenyang. Akibatnya, kita pun makan terus-menerus.
Sejak tahun 1970-an, lemak dituding menjadi pemicu penyakit jantung. Pola pandang seperti itu membuat produsen menciptakan berbagai produk "rendah lemak". Sayangnya, produk-produk yang dianggap mengandung lemak tinggi itu digantikan dengan produk yang mengandung gula.
Banyak orang menganggap makanan yang bergula lebih sehat dibanding makanan berlemak. Padahal, makin banyak gula yang diasup, makin banyak keinginan kita untuk makan lagi. David Kessler, mantan anggota FDA, meyakini gula bersama dengan lemak dan garam menimbulkan efek kecanduan yang sama bagi otak.
Sumber : kompas
Berbeda dengan kepercayaan banyak orang, sebenarnya tidak banyak perubahan yang terjadi dengan manusia di zaman ini. Kita tidak lebih rakus dalam makanan dan tidak juga lebih malas bergerak. Tetapi, ada satu perubahan menonjol, yakni makanan yang kita asup, dan secara spesifik jumlah gula dalam makanan.
"Secara genetik, manusia belum berubah. Tetapi lingkungan kita, akses kita terhadap makanan murah berubah," kata profesor Jimmy Bell, pakar obesitas dari Imperial College, London.
Ia menjelaskan, setiap hari kita dibombardir oleh industri makanan agar kita makan lebih banyak makanan. "Ada perang antara tubuh kita dan kebutuhan yang dibuat oleh tubuh dengan akses terhadap makanan. Sebagai ilmuwan, saya merasa kita kalah melawan obesitas," kata Bell.
Gula jagung
Perubahan besar dalam pola makan manusia, menurut Bell, terjadi sejak tahun 1970-an ketika pertanian Amerika Serikat mengenalkan produk massal jagung dan sirup gula jagung yang kerap dipakai sebagai pemanis dalam produk makanan.Produk pemanis itu mendorong produksi makanan murah miskin gizi, mulai dari biskuit hingga sereal. Pada akhirnya, burger pun dibuat lebih besar dan kentang digoreng dengan minyak lebih banyak sehingga makin berlemak.
Menurut pakar nutrisi Marion Nestle, hal tersebut membuat orang semakin gemuk. "Jumlah kalori yang diproduksi orang di Amerika dua kali dari jumlah yang dibutuhkan tubuh. Tahun 1970-an, kalori yang dikonsumsi 3.200 dan di tahun 1980-an sudah menjadi 3.900 per orang," katanya.
Sirup jagung tinggi fruktosa (high fructose corn syrup/HFCS) adalah pemanis yang diproduksi dari limbah jagung, karena itu harganya murah. Pemanis ini banyak dipakai dalam berbagai makanan, mulai dari pizza, cakes, roti, biskuit, dan banyak lagi.
Pada pertengahan tahun 1980-an, sirup jagung menggeser penggunaan gula dalam produk minuman soda. Dari sisi finansial perusahaan, hal itu lebih menguntungkan karena harga sirup jagung tiga kali lebih murah dari gula dan lebih manis.
Akan tetapi, beberapa pakar menyebutkan, sirup jagung bisa menimbulkan adiksi. Dua dekade kemudian jumlah softdrink yang diasup orang Amerika rata-rata naik dua kali lipat dari 350 kaleng per tahun menjadi 600 kaleng.
Susan Neely dari American Beverages Association menolak anggapan bahwa tingginya konsumsi softdrink sebagai penyebab obesitas di negara Barat. "Bukti menunjukkan bahwa obesitas terjadi karena seseorang mengasup terlalu banyak kalori tanpa olahraga untuk mengimbanginya," katanya.
Sementara itu, Dr Jean-Marc Schwarz dari San Francisco General Hospital mengatakan bahwa jumlah fruktosa yang dikonsumsilah yang membuatnya berbahaya. "Fruktosa memang tidak memiliki efek toksik seperti timah. Ia juga tidak bisa dibandingkan dengan merkuri, tetapi kuantitas yang kita konsumsi yang membuatnya menjadi racun," kata Schwarz.
Di dalam tubuh, fruktosa akan dengan mudah diubah menjadi lemak. Para ilmuwan juga menemukan hal tersebut akan menekan kerja hormon vital yang disebut leptin. Hormon ini bertugas untuk memberitahu otak jika kita sudah kenyang. Jika liver sudah berlebihan gula, leptin lambat laun akan berhenti bekerja sehingga tubuh tidak akan menyadari kapan kita kenyang. Akibatnya, kita pun makan terus-menerus.
Sejak tahun 1970-an, lemak dituding menjadi pemicu penyakit jantung. Pola pandang seperti itu membuat produsen menciptakan berbagai produk "rendah lemak". Sayangnya, produk-produk yang dianggap mengandung lemak tinggi itu digantikan dengan produk yang mengandung gula.
Banyak orang menganggap makanan yang bergula lebih sehat dibanding makanan berlemak. Padahal, makin banyak gula yang diasup, makin banyak keinginan kita untuk makan lagi. David Kessler, mantan anggota FDA, meyakini gula bersama dengan lemak dan garam menimbulkan efek kecanduan yang sama bagi otak.
Sumber : kompas